Thursday, August 23, 2007

Das Reich der Neüs: Das Anstieg und Fall




Dalam film James Bond 007: Tomorrow Never Dies, dikisahkan ada seorang pengusaha berita yang maniak, bernama Elliot Carver dengan kantor berita miliknya, yaitu CMGN. Musuh jenis inilah yang harus dihadapi oleh agen rahasia 007, karena Elliot Carver hendak mengacaukan perdamaian dunia dengan mengadu domba antara Kerajaan Inggris Raya, salah satu kekuatan laut utama dunia, dengan Republik Rakyat Cina, pemilik angkatan udara terbesar. Diharapkan dengan terjadinya perang ini, maka oplah berita CMGN akan naik, dan dengan begitu Elliot Carver pun akan meraup keuntungan amat besar. Akan tetapi, di kehidupan nyata, mungkinkah ini terjadi?

Nilai Sebuah Informasi:


Seperti pernah dikatakan oleh Kania Sutisnawinata dalam sebuah iklan, “berita telah menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat”. Dalam artian, kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan informasi dan berita pun kini sudah sama tingginya dalam skala kebutuhan. Entah berita itu akan didapatkan dari surat kabar, televisi, radio, ataupun hanya gosip dari mulut ke mulut.

Dalam kehidupan modern, informasi memegang peranan amat penting. Militer tentu saja membutuhkan keakuratan informasi untuk memenangkan sebuah pertempuran, tentu kita masih ingat bagaimana Israel yang dalam jumlah senjata dan pasukan kalah besar dari pasukan Liga Arab, ternyata bisa menang, hanya semata-mata karena Israel memiliki Dinas Rahasia MOSSAD yang amat superior. Lewat informasi yang didapatkan dari MOSSAD itulah maka AB Israel tahu kapan dan dimana harus menyerang sehingga setiap serangan Israel bisa sangat efektif dan efisien serta memiliki tingkat keakuratan yang mematikan.

Oleh karena itu, siapapun yang memegang informasi, maka dia akan memenangkan pertempuran, dalam aspek apapun, mulai dari politik, ekonomi, bisnis, sosial, budaya, hingga ke masalah percintaan sekalipun. Oleh karena itu, masyarakat modern senantiasa haus akan berita dan informasi, karena itu akan membuat mereka untuk tidak ketinggalan dari yang lain, dan sekaligus informasi yang akurat bisa menjadi dasar pertimbangan utama mengenai langkah apa yang akan diambil selanjutnya.


If you know your enemy, and you know yourself, you need not fear the results of hundreds battles (Sun Tzu)

Argentum ad Neüsem:

Mengenai pentingnya informasi seperti yang disebutkan di atas, sudah disadari betul-betul oleh Belanda ketika menjajah Indonesia. Sebagai ilustrasi adalah seperti ini: Angkatan Perang terbesar yang pernah dikenal di Eropa pada era itu adalah milik Perancis, dengan La Grande Armee. Berapa jumlahnya? Kurang lebih 500,000 orang. Negara-negara lain (termasuk Inggris dan Belanda) tentu saja lebih kecil dari itu. Taruh saja jumlah tentara Belanda ada sekitar 250,000 orang. Dari jumlah ini, katakanlah 100,000 digunakan untuk mengamankan Negeri Belanda sendiri, jadi ada 150,000 yang bisa digunakan untuk ekspansi dan pengamanan wilayah koloni. Katakanlah jajahan Belanda ada tiga, yaitu Suriname, Afrika Selatan, dan Indonesia, maka masing-masing secara rata akan mendapatkan jatah 50,000 tentara. Jika jumlah pulau di Indonesia ada 5 pulau besar, maka masing-masing hanya akan dijatah 10,000 tentara. Lalu katakanlah di Pulau Jawa sendiri ada sekitar 4 kerajaan besar (Banten, Cirebon, Mataram, dan Pajajaran) maka alokasi Belanda untuk menghadapi satu kerajaan hanya ada sekitar 2,500 tentara. Ingat, ini baru satu kerajaan thok lho, di satu pulau. Jika masing-masing kerajaan di Indonesia menyediakan kira-kira 10,000 tentara saja dan menyerang Belanda secara serentak, niscaya tidak bakal ada ceritanya Belanda menjajah Indonesia.


Akan tetapi, pintarnya Penjajah Belanda waktu itu; terlepas dari dilakukannya politik Divide et Empira, juga dengan menyembunyikan berita yang ada, sehingga jangan sampai Belanda menghadapi dua pertempuran besar dalam satu waktu. Ini semata-mata karena secara riil tenaga Belanda tidak cukup untuk mempertahankan wilayah jajahan seluas Indonesia. Ini terbukti ketika Jepang menyerang dengan mendaratkan secara serentak pasukannya di berbagai tempat di Pulau Jawa, ternyata Belanda pun tidak mampu menghadapinya.

Pada zaman Jepang, orang mengenal Kantor Berita Domei. Kantor berita ini senantiasa menyiarkan propaganda kemenangan Jepang, terutama dalam pertempuran di Guadalcanal. Dalam kenyataannya, Balatentara Jepang mengalami kekalahan di berbagai wilayah tempur, dimulai dari hancurnya Armada Utama Jepang dalam pertempuran di Midway, lalu kekalahan strategis di Guadalcanal, hingga nanti akhirnya Armada Jepang betul-betul hancur dalam pertempuran di Filippina. Mengenai berita bohong ini, bahkan sampai Jenderal Yoshitsugu Saito di Saipan, dan Jenderal Tadamichi Kuribayashi di Iwo Jima pun hampir tertipu oleh pemerintahnya sendiri. Tadinya Daihonei mungkin ingin menjaga spirit pertempuran tetap tinggi dengan menyembunyikan berita kekalahan, akan tetapi akibatnya justru menjadi bumerang bagi Jepang pada fase-fase akhir perang.

Andaikan saja saat itu Kantor Berita Domei menyiarkan hal yang sebenarnya, tentu para pemimpin bangsa bisa lebih cepat untuk memaksa Jepang dalam memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Menteri Propaganda Jerman era Perang Dunia II, yaitu Joseph Göbbels pernah menggariskan teori kebohongan besar (Argentum ad Neüsem), yaitu “berita bohong apabila disiarkan sebesar dan sesering mungkin, maka akan dianggap sebagai sebuah kebenaran”. Mulai dari sinilah Göbbels telah menggariskan arti penting dari sebuah berita.

Penyiaran Berita Elektronik di Indonesia:
Penyiaran berita dibagi menjadi dua, yaitu penyiaran berita propaganda, dan penyiaran berita profesional.
Berita sebagai alat propaganda masih dijalankan setelah era Perang Dunia II, yaitu oleh dua kubu yang berseberangan di Perang Dingin, yaitu Blok Amerika Serikat dan Blok Uni Soviet, tentu saja masing-masing demi kepentingannya sendiri. Selain itu beberapa negara juga mengaplikasikannya, dan biasanya berita jenis ini dipakai untuk melanggengkan kekuasaan sebuah rezim.
Penyiaran berita profesional, yaitu penyiaran berita dengan mengungkapkan apa yang terjadi pada saat itu, tanpa adanya fakta yang ditutup-tutupi atau ditambah-tambahi. Resikonya, tentu saja berita akan memberikan sebuah efek sosial tertentu pada masyarakat, yang mana hal itu belum tentu baik. Penyiaran berita profesional modern sendiri tidak lepas dari proses sensor dan editing, ini tentu saja dilakukan untuk meredam gejolak negatif yang mungkin timbul dari berita yang disampaikan tersebut.
Dengan diciptakannya satelit dan sistem komunikasi canggih yang lain, maka penyiaran berita pun naik ke level yang lebih tinggi.

Berita elektronik pertama di Indonesia dipelopori oleh RRI, dan setelah televisi diperkenalkan, maka TVRI menjadi pelopor dalam siaran berita pertelevisian. Hanya saja, karena TVRI ini adalah milik pemerintah, maka selain melakukan penyiaran berita secara profesional, TVRI juga melakukan menyiarkan propaganda pemerintah. Berhubung TVRI adalah satu-satunya stasiun televisi, juga semakin kuatnya Rezim Soeharto saat itu, maka pemijahan antara penyiaran profesional dan penyiaran propaganda pun menjadi kabur.

Era Pemberitaan Televisi Swasta

RCTI muncul sebagai stasiun TV swasta pertama mendampingi TVRI pada 1988, yang lalu ikut membidani kelahiran SCTV setahun kemudian. Saat itu RCTI dan SCTV masih berada dalam satu manajemen (sebelum nanti SCTV berpisah pada medio 90-an). Dari sini RCTI menyiarkan berita yaitu Seputar Indonesia yang mana formatnya masih sama dengan Berita Nasional TVRI. Bahkan RCTI dan SCTV pun saat itu masih “dipaksa” harus menyiarkan program Dunia Dalam Berita milik TVRI.

Dengan belum matangnya format Seputar Indonesia (waktu itu SCTV belum mengeluarkan program berita sendiri), maka TVRI dan RCTI masih berdampingan sebagai duopolis penyiaran berita di Indonesia. Dari TVRI kita mengenal nama-nama legendaris seperti Magdalena Daluas, Mieke Malaon, Muniati Sulam, juga Max Sopacua dan Hasan Ashari Oramahi. Sementara di RCTI ada Dana Iswara, Desi Anwar, juga Zsa Zsa Yusaryahya dan Helmi Johannes. Hingga medio 90-an, dominasi TVRI dalam pemberitaan masih amat kuat, sehingga RCTI hanya bergerak utamanya dalam bidang hiburan.
Munculnya TPI di kemudian hari menambah khasanah pertelevisian di tanah air. Akan tetapi dari segi format berita, TPI tidak menawarkan sesuatu yang baru. Maklum saja, pemilik TPI adalah Mbak Tutut, yang notabene merupakan anak Pak Harto. Saat itu timbul spesifikasi tugas seperti ini: TVRI-berita, RCTI/SCTV-hiburan, TPI-pendidikan.

Revolusi Penyiaran Berita:

TVRI masih amat kuat hingga medio 90-an, dan meskipun televisi swasta lain masuk, yaitu ANTV yang kemudian disusul oleh Indosiar, juga tidak mengahdirkan sesuatu yang baru, karena kedua TV ini sama sekali tidak menyiarkan berita. Spesifikasi tugas pun berubah kembali menjadi seperti ini: TVRI-berita, RCTI-sinetron, SCTV-telenovela, ANTV-musik dan kuis impor, TPI-film india, dan Indosiar-film barat. Kita bisa lihat bahwa TPI sudah mulai berubah orientasinya menuju hiburan.

Di saat inilah revolusi muncul dari RCTI dan SCTV. Terjadinya konflik internal di tubuh pemberitaan RCTI akhirnya menyingkirkan nama-nama beken macam Desi Anwar dan Zsa Zsa Yusaryahya. Selepas konflik itu, RCTI dan Seputar Indonesia pun sedikit cooldown sehingga “tenggelam”. SCTV pun akhirnya memisahkan diri dari RCTI, dan emoh untuk mengekor Seputar Indonesia, maka SCTV menciptakan program berita baru bernama Liputan 6, dinamakan begitu karena disiarkan pada Pukul 6 Pagi dan 6 sore. Ini berarti RCTI dan SCTV mulai menyaingi program Berita Nasional TVRI, meskipun siaran Dunia Dalam Berita masih disender oleh seluruh stasiun swasta hingga tahun 1998. ANTV lalu mulai membuat program berita bernama “Cakrawala” dan Indosiar pun, setelah sekian lama bersikukuh untuk tidak membuat program berita, akhirnya membuat juga dengan nama “Horizon”.

The Downfall of TVRI

Setelah melepaskan diri dari RCTI, SCTV dengan Liputan 6-nya, meskipun masih mengambil format dari Seputar Indonesia, ternyata tampil lebih berani. Liputan 6 adalah satu-satunya siaran berita yang durasinya mencapai satu jam secara konsekutif, dan dengan begitu menegaskan diri sebagai siaran berita revolusioner. Anchor-anchor dari SCTV pun mulai bermunculan dan mengambil namanya saat saudara tuanya “tertidur”. Nama-nama seperti Ira Koesno, lalu Ariana Herawaty, dan Arief Suditomo pun mulai banyak dikenal oleh pemirsa televisi Indonesia.

Ketika rezim Soeharto jatuh pada tahun 1998, maka TVRI pun seolah kehilangan pamornya. Dimulai dengan tidak wajibnya TV swasta untuk menyender Dunia Dalam Berita dan Berita Nasional membuat TV swasta harus mandiri dalam siaran beritanya. Tapi siapa yang akan menggantikan posisi TVRI saat itu? Rupanya SCTV adalah yang paling siap. Gebrakan-gebrakan revolusioner pun dilakukan oleh SCTV, yang tampaknya benar-benar serius menggarap soal yang satu ini. Format wawancara dalam sebuah acara berita, lalu liputan langsung, dan beberapa perubahan revolusioner lain membuat SCTV menjadi yang terdepan dalam hal pemberitaan.

Catatan juga adalah SCTV bukanlah yang pertama dalam melakukan segala sesuatu, tapi SCTV selalu bisa menyajikannya dengan cara-cara yang berbeda, berbeda dari metode ortodoks seperti yang selama ini diambil dari sistem Berita Nasional. Misalnya dalam pertama kali Liputan 6 Malam, SCTV memperkenalkan metode bahwa anchor yang membawakan tidak duduk melainkan berdiri.

New Emerging Forces


Memasuki tahun 2000, semua stasion sudah mantap dengan formatnya masing-masing, RCTI dengan Seputar Indonesia-nya yang masih menganut mazhab klasik, dan SCTV dengan mazhab kontemporer. Hingga medio ini, mazhab klasik masih paling banyak dianut oleh stasiun TV sehingga hanya SCTV sendiri saja lah yang melaju dengan mazhab kontemporer-nya.
Pada tahun ini pula muncul pemain baru, yaitu TransTV dan MetroTV. TransTV muncul dengan paradigma sebagai televisi hiburan, akan tetapi memiliki program berita yang non-konvensional. Cara-cara penyajian berita dari TransTV betul-betul inortodoks dan di luar metode-metode baku saat itu. Reportase adalah sebuah revolusi baru dari sebuah jurnalisme investigasi (meskipun metode ini sebenarnya sudah diperkenalkan oleh SCTV), dan setelah mengakuisisi TV7 menjadi Trans7, maka sentuhan klasik pun diberikan kepada Trans7, ibarat seperti tim balap Ferrari yang memberi mesin pada tim Sauber Petronas.

MetroTV muncul sebagai fenomena baru karena merupakan stasiun TV yang full menayangkan berita. Formatnya adalah mirip seperti CNN-nya Indonesia. MetroTV juga menyajikan kombinasi unik antara metode klasik RCTI dengan metode kontemporer SCTV, meskipun jujur saja, selain konsep stasiun televisinya, tidak ada konsep baru dalam hal pemberitaan. Sehubungan dengan statusnya sebagai stasiun TV khusus berita, maka semua aspek berita, inilah yang dijual oleh MetroTV, termasuk juga anchor-anchornya. Awalnya, banyak nada pesimistis apakah MetroTV bisa bertahan di tengah serangan stasiun TV variety, tapi perjalanan waktu membuktikan sebaliknya. Lewat MetroTV inilah, nama Desi Anwar dan Zsa Zsa Yusaryahya kembali.

Sebagai pelopor, SCTV sendiri malah agak tersendat, ini mungkin selain berkembang pesatnya TV lain, juga banyak diantara orang-orangnya yang diambil oleh TV lain, antara lain Arief Suditomo ke RCTI, lalu Valerina Daniel, Sandrina Malakiano, dan Kania Sutisnawinata ke MetroTV, tapi penggembosan paling besar dilakukan oleh ANTV setelah “membajak” Karni Ilyas, Ariana Herawaty, Grace Natalie, dan Indi Rahmawaty; belakangan Valerina Daniel menyusul kolega-koleganya untuk bergabung di ANTV.

The Establishment of The Reich

Kemudian, bagaimanakah posisi masing-masing stasiun berita ini terakhir? Berikut adalah rangkumannya:

Mazhab Klasik:

TVRI, untuk sementara masih “tertidur”, dan entah kapan akan terbangun kembali. Akan tetapi, mazhab klasik TVRI pernah menjadi standar dan kiblat bagi dunia pemberitaan televisi di Indonesia. Apabila diumpamakan seperti tim sepakbola, maka TVRI ini adalah Uruguay, pernah merajai dunia, tapi entah kapan lagi…

RCTI, masih menganut mazhab klasik dalam siaran berita utamanya, namun lewat masuknya Arief Suditomo sebagai PemRed, maka “citarasa” SCTV pun hadir di dalamnya. Belakangan, kekuatan RCTI bertambah dengan masuknya Chantal della Concetta dari MetroTV: salah satu Jewel In The Screen, dan Isyana Bagoes Oka. Tampaknya RCTI berharap untuk meneruskan kembali masa jayanya. Dalam hal ini, bolehlah kita umpamakan dengan tim Jerman. Mereka adalah pionir dan peletak dasar dari pemberitaan TV Swasta yang kita kenal sekarang...

ANTV, sempat lemah pada awal-awal, tapi kemudian setelah take over oleh StarTV, ANTV membenahi besar-besaran program beritanya, termasuk mengontrak pemain-pemain baru, di antaranya adalah duet maut Rahma Alia dan Valerina Daniel…bagi mereka yang ingin meraih kejayaan, maka ANTV adalah tim Spanyol, memiliki talenta hebat, tapi sayang agak terseok-seok untuk mencapai puncak.

TPI, pada era TVRI, TPI sempat tampil menjanjikan, sayangnya lalu TPI terjebak dalam mazhab klasiknya, dan akhirnya terbenam sama sekali setelah fokus dialihkan ke hiburan. Untuk TPI, kita berikan tim Portugal, kuda hitam yang selalu mengancam.

Indosiar, mereka adalah tim bermazhab klasik paling lemah, dan sama sekali belum pernah merajai puncak. Berkali-kali berusaha, tapi sayangnya tidak pernah berhasil. Inggris? Oh, tidak-tidak,…untuk mereka paling tepat adalah tim Paraguay.

Mazhab Kontemporer:

TransTV, muncul dengan gayanya yang luar biasa, dan pendekatan baru terhadap berita yang belum pernah ada sebelumnya. TransTV layak mendapatkan acungan jempol atas gaya berita yang non-ortodoks dan betul-betul unik. Untuk mereka, adalah tim Argentina, tim Tango, kehadirannya selalu menyenangkan dan selalu ditunggu, seperti juga mereka menanti seorang Maradona.

MetroTV, menjadi unggul sebagai satu-satunya stasiun yang menyiarkan full berita, serta memiliki kombinasi anchor yang amat banyak dan dahsyat. Metro memiliki semua yang dibutuhkan untuk menjadi sukses, sayangnya tidak ada yang baru dalam hal format pemberitaan, dan juga sekarang komposisi anchor mereka pun tidak lagi sekuat dulu. Untuk mereka, inilah tim Italia. Meskipun juara dunia, tapi orang selalu merindukan masa-masa keemasan Catenaccio.

SCTV, sempat limbung setelah ditinggal pergi beberapa orangnya, akan tetapi kekuatan SCTV bukan pada orang per orang, melainkan pada sistem yang telah dibangun dengan susah payah. Berapapun orang SCTV diambil, mereka seolah seperti bisa membuat kembali yang sama baik. Sistem dan format SCTV bahkan menjadi pionir dan mendasari format-format berita di stasiun lain. Merekalah juara dunia sesungguhnya, inilah tim Brazil, karena mereka datang untuk menang!

To be continued…
Next: Time of The Titans